Minggu, 20 November 2011

puisi

Be a writer

What I feel I write
It takes only a moment to capture
when I look inside my mind
the words pour out in painful rapture
Sometimes I just stare
No words to express
Feeling like I just don't care
But it's hard to ignore
what I truly am in my core
Sometimes I feel small
and I hit that brick wall
where words escape me
where reality breaks me
And as I lay there on my bed
my thoughts turn to you instead
and I sigh
sometimes I want to die
as thoughts and words
are ripped from my soul
leaving behind a black hole
It is hard to be a writer
sharing my truth
admitting I'm a fighter
of love
of hope
of sincerity
laying bare my vulnerability

Sabtu, 19 November 2011

cerpen


Ada Cinta Di Pagar Pondok
Udara dingin hari ini membuat aku terbangun dengan cepat. Aku sudah tak ingin menempati ruangan hampa ini. Tanpa pikir panjang aku langsung mengambil handuk yang tergantung pada hanger. Aku mandi begitu lama tak seperti biasanya. Rasa ingin pergi pun muncul dari benakku saat itu . Pagi itu aku berniat hendak kabur dari pondok. Untuk mengisi hari libur ini, aku lebih memilih untuk jenk-jenk daripada mengikuti kegiatan pondok. Aku biasa kabur lewat pagar belakang pondok. Oh ya, namaku Viona. Aku duduk di bangku sekolah SMA kelas X dan mondok di sebuah pesantren di Boyolali yang tak pernah kuminati sedikit pun. Namun apa boleh buat, aku harus menuruti keinginan orang tuaku yang tak bisa aku bantah. Karena ada pepatah mengatakan pilihan orang tua adalah yang terbaik.
Gubrak… aku terjatuh dibalik pagar itu. Tiba-tiba ada seorang cowok tampan yang menolongku. Dia menatapku dalam-dalam. Jantungku berdenyut kencang saat aku kembali menatap wajahnya. Seakan ada perasaan lain yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
“Mbak nggak apa-apa kan?” tanyanya sambil mengelus kakiku yang tampak memar.
“Nggak apa-apa kok… makasih dah nolongin aku.” jawabku singkat.
”Kenapa mbak manjat-manjat pagar segala? Kenapa mbak nekad lakuin ini semua?”
tanyanya lagi. Aku menghela nafas sebentar. Aku berusaha menjelaskan semuanya.
”Aku stress hidup kayak gini, nggak pernah tau apa yang terjadi diluar sana, aku iri sama teman-teman SMP ku yang sekarang masih bebas seperti dulu. Sedang aku disini terkekang, tiap hari kerjaannya cuma ngaji terus. Aku mondok aja karena paksaan orang tua ku.” Mendengar jawabanku, dia menasehatiku dengan bijak.
”Ini bukan jalan terbaik untuk menghilangkan stress. Malah justru nambahin masalah kalau mbak ketahuan pengurus. Orang tua mbak membawa mbak kesini itu demi kebaikan mbak, mbak nggak boleh ngecewain orang tua mbak.”
Aku menjadi luluh karena ucapannya. Mungkin karena aku terlanjur mengaguminya. Aku sadar, selama ini aku salah. Aku nggak pernah peduli nasihat orang tua. Andaikan mereka tahu kelakuanku disini. Mereka pasti kecewa banget sama aku. Sekarang aku mulai sadar bahwa semua yang mereka lakukan hanya untukku, satu-satunya harapan dari keluargaku. Sekarang aku berjanji, aku akan bersikap lebih dewasa lagi.
“Terima kasih banyak, kamu sudah menyadarkanku. Mulai sekarang aku akan berubah untuk lebih baik, doakan ya….?” ucapku sambil memeluknya. Dia tersenyum kepadaku dan melepaskan pelukanku itu.
Terik matahari semakin menyengat. Suara adzan terdengar di seluruh penjuru kota. Bertanda telah masuk waktu dhuhur. Dia mengalihkan pembicaraan dan mengajakku pergi ke masjid untuk tunaikan salat dhuhur berjamaah. Disepanjang perjalanan menuju masjid, aku mengajaknya ngobrol. Aku ingin tahu lebih banyak tentang dia.
“Ngomong-ngomong namamu siapa, dan asalmu dari mana, kita belum kenalan kan?” tanyaku. “Namaku Faiz, aku dari Kediri, aku mondok diseberang sini, kamu sendiri siapa dan darimana?” tanya balik cowok itu. “Aku Viona dari Bandung.” jawabku singkat. Menara masjid pun tampak semakin dekat dan akhirnya nyampe juga. “Ehh, udah sampe nih. Aku masuk dulu ya…” ucapnya sambil melambaikan tangan dan memberi salam perpisahan. Aku berharap suatu hari nanti aku dapat bertemu dengannya lagi.
Sejak saat itu, sifatku berubah drastis, kini aku mulai rajin ikut kegiatan pondok, dan sudah tidak pernah kabur lagi. Banyak orang yang tidak percaya dengan semua ini.
”Kena setan apa kamu Vion, kok sekarang rajin ikut ngaji, lagi tobat nih ceritanya.”  sindir Riska sadis. “Kenapa kaget ngeliat aku dah berubah?” jawabku tenang. “Jelas kaget lah, seorang Viona yang dulu nggak pernah yang namanya ikut ngaji, sekarang mendadak rajin ngaji.” kata Riska sirik. “Ya baguslah Ris, sekarang Viona rajin , malah lebih rajin dari pada kamu, udah Vion, nggak usah di dengerin tuh omongan nenek lampir, mending ke kantin aja yuk.” sahut Della seraya menarik tanganku menuju kantin pondok.
            Di kantin, Della menanyaiku sebab berubahnya sifatku kini. Aku sendiri bingung, apa yang tengah terjadi pada diriku. Kenapa aku bisa berubah secepat ini? Tapi aku mencoba jelaskan semua ini kepada Della, sahabatku yang selalu ada saat suka maupun duka. Setelah ia tahu bahwa aku berubah karena seorang cowok tampan yang bisa membuat hatiku luluh, ia jadi penasaran siapa cowok yang aku maksud itu.
“Memang namanya siapa Vion?” tanya Della dengan wajah penasaran. “Namanya Faiz, dia mondok di seberang kita lho…” jawabku. “Ohh yang dari Kediri itu ya…itu mah tetanggaku, yang punya tahi lalat di pipinya itu kan? hahaha, kamu suka sama dia yah…?” canda Della. “Lho.. itu tetanggamu toh. Kok kamu nggak pernah cerita kalau punya tetannga cakep sih.., kapan-kapan ajak aku ke rumahmu dong, biar aku bisa ketemu dia lagi.” bujukku sok manis. “Ya, tenang aja ntar ku ajak kok, yuk ke kelas MADIN, udah bel tuh.” ajak Della mengakhiri pembicaraan.
            Sesampai di kelas, ada pengumuman lomba dalam rangka PORSENI antar pondok. Ketua kelasku menunjuk aku untuk mewakili lomba badminton, karena aku udah terkenal jago main badminton. Untuk mempersiapkan lomba itu, aku rajin berlatih badminton, supaya pada perlombaan nanti aku terlihat keren, lincah dan dapat memenangkan lomba badminton. Aku berharap aku nggak ngecewain teman-teman yang udah mempercayaiku.
            Hari perlombaan pun tiba. Badminton kali ini pemainnya ganda putra putri. Ternyata Faiz juga ikut mewakili badminton. Aku mendapatkan nomor undi dua. Lawanku adalah Faiz dan pasangannya, Novi. Sedang pasanganku adalah Iwan. Aku mulai masuk arena perlombaan atas panggilan juri. Perasaanku semakin campur aduk. Senang sekaligus gugup, karena aku berhadapan dengan cowok idolaku. Aku sering melakukan kesalahan karena rasa gugupku yang semakin menjadi-jadi itu. Akhirnya yang memenangkan lomba itu adalah Faiz. Tapi aku tidak sedih, aku justru senang dan bangga dengannya. Karena aku dan dia punya bakat yang sama.
            Setelah lelah bertanding, akupun istirahat dipinggir lapangan sendirian. Tiba-tiba Faiz duduk di sampingku. ”Kenapa tadi kamu kelihatan gugup? padahal main kamu sebenernya bagus lho, Iwan juga bagus.” tanya Faiz dengan senyum manisnya. Aku tak mampu menjelaskannya. Aku hanya bisa tersenyum kecil. Tapi aku tahu kalau sebenarnya dia juga punya rasa denganku. Perlahan-lahan dia menatapku dan berusaha memegang tanganku. Tak lama kemudian, kata itupun meluncur dari bibirnya. Kata yang selama ini kunanti. Dia mengungkapkan isi hatinya “aku sayang kamu Vion, sejak pertama kali bertemu denganmu, aku merasakan ada aura dibalik wajahmu, kau selalu hadir dalam mimpiku…” Aku tak mengerti saat ini. Perasaanku campur baur tak menentu. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Dengan wajah berseri-seri, akupun mengatakan “Aku juga sayang kamu…”
            Saat aku dan Faiz masih asyik ngobrol, tiba-tiba ada Riska di belakangku. Orang yang nggak pernah baik sama aku sejak pertama kali aku masuk pesantren. Hingga saat ini aku belum tahu sebab dia membenciku. “Ehm, ternyata lo disini udah punya gebetan ya. kok ada sih cowok yang mau sama lo.” ledeknya. “Napa lo? sirik sama aku karena lo belum punya gebetan? jujur aja deh.” sahutku dengan nada kerasku. “Idih, amit-amit deh. Bukan karena aku nggak laku, tapi aku nggak mau melanggar peraturan. Aku nggak mau bikin masalah. Awas ya, ku laporin pengurus lho.” ancam Riska.
            Lalu aku pulang dengan kabar gembira. Walupun aku tidak jadi juara, tapi aku berhasil mandapatkan cintaku. Faiz,cowok yang selama ini aku idamkan. Ternyata dia juga memendam rasa yang sama denganku. Akupun menceritakan ini pada Della sahabatku. Aku bingung harus bagaimana. Aku nggak mau orang tuaku dapat laporan kalau aku  disini masih nakal. Apa gunanya mereka membawaku ke pesantren kalau aku nggak berubah. Ditengah kegundahanku,  ternyata Faiz punya ide cemerlang. Dia memperkenalkan salah satu temannya kepada Riska. Namanya Adit. Orangnya tak kalah keren dengan Faiz. Tak lama kemudian, mereka saling mencintai. Mereka pacaran seperti layaknya aku dan Faiz. Gara-gara itu, aku dan Riska udah baikan. Bahkan aku biasa dekat dan curhat sama dia. Tetapi aku tidak melupakan Della yang sudah jadi teman baikku sejak awal menjadi santri di pondok ini.
            Aku pacaran tak seperti orang-orang di luar pesantren. Aku percaya kalau aku dan Faiz nggak akan berbuat yang macam-macam. Aku yakin aku bisa jaga diri. Karena kita masih terikat  peraturan pesantren. Aku menjadikan Faiz sebagai semangat belajarku di pesantren. Supaya aku semakin betah hidup disini dan nggak teringat dengan masa SMP ku dulu.
            Orang tuaku juga memperbolehkanku pacaran kalau hanya sekedar sebagai semangat belajar. Apalagi dengan cowok pondokan. Setelah aku memperkanalkan mereka dengan Faiz, mereka paham kalau Faiz adalah cowok baik-baik. Mereka juga berterima kasih pada Faiz yang sudah membuatku lebih baik.

Senin, 31 Oktober 2011

music pelajar

Anak jaman sekarang ga bisa terlepas dari musik. Musik bisa mencerminkan karakter seseorang loh, tapi ga 100% juga sihh... soalnya musik mempengaruhi seseorang dalam setiap aktivitasnya, misalnya para pelajar yang kalo dengerin musik, baru bisa nerima pelajaran.

sebuah kisah nyata ..
seorang pelajar yang multitalent , pintar berbakat ..
dalam suatu situasi, ia harus memilih, antara menjadi siswa berprestasi tingkat nasional, atau mengikuti festival musik se-Jabodetabek, ia malah memilih mengundurkan diri dari seleksi siswa berprestasi. Padahal pemilihan tervoting dari pilihan anak-anak sekolah, secara menurut mereka dia cukup pintar, aktif, dan selalu ingin mencari hal-hal yang baru, tapi tidak dengan yang satu ini rupanya.
Terbukti, musik dapat meracuni seseorang...
Apalagi dikalangan pelajar, kalo udah ngeband2 gitu, pasti pelajaran bakalan terbengkalai...

Soalnya, Musik juga bisa buat eksistensi loh...